Tulisan ini pernah dimuat di Rubrik Petualangan Majalah MATRA Edisi Desember 2002 ditulis oleh Saleh dan diedit oleh Latief
Meski dihantui mitos siluman ular dan buaya putih, para cavers (penelusur gua) Mapala UI tetap nekad mengobok-obok kawasan karst Karang Bolong, Jawa Tengah. Tiga anggota putrinya terjebak lumpur!
M. Saleh Jasape, anggota ekspedisi, menuliskan kisahnya, khusus kepada MATRA.
Pagi itu, suasana di mulut Gua Kendalisada terkesan angker. Bekas-bekas bakaran dupa, dan bungan rajutan tampak di sana sini. Kedaan pun begitu sunyi senyap. Aneh, dan angker.
Konon, kabarnya, di dalam gua berbentuk rekahan itu bersemayam mahluk berkepala mirip seekor kepala ikan. “Mungkinkah ini ada hubungannya dengan tampah sesajen itu?�? batinku, tak keruan. Saat itu, perasaanku sangat tak menentu arah. Maklum, baru di hari keenam penelusuran di kitaran Karang Bolong ini kutemukan keganjilan. “Ah, hanya perasaanku saja, gumamku, menghibur diri.
Tanpa buang banyak waktu, kubuang segala keraguan. Buat kami, takkan berujung jika terus memikirkan mitos itu. Maka, bersama Heda, Hendra, dan Fadli, aku merancang peralatan penelusuran.
Dengan sigap, leader kami, Fadli memulai rigging (memasang peralatan penelusuran gua vertikal). Sementara sebagai pengawas, tugasku cukup mengawasi langkahnya.
Meskipun cukup lama membuatnya, rekanku itu cukup percaya diri. Buktinya, hanya bermodalkan seutas sling (tali) yang berdiamater 1 inci, ia berani bergantungan menempel di tebing.
Tak sia-sia keringatnya mengucur deras. Kini, pada beberapa lubang batu tembus di atap gua, ia berhasil membuat anchor (penambat tali).
Entah mengapa, seusai membuat penambat, mendadak tubuhnya blingsatan. Sekujur tubuh fadli gatal-gatal. Hendra, yang sedari tadi berada di bawah untuk membantu keperluan Fadli, pun demikian parahnya. Tubuhnya terus memberontak, menggaruk-garuk tak keruan.
Nampaknya, kejadian itu merupakan kesialan kami hari itu. Sejenak, keduanya diberi pengobatan seadanya, agar gatal-gatal tersebut tidak berkepanjangan.
Fadli tak mengurungkan niatnya untuk tetap menjadi leader tim mulai memasuki gua ini. Di belakangnya, aku, Heda, dan Hendra menyusul tutun satu persatu.
Setiba di dasar gua, banyak kutemukan boulder-boulder (reruntuhan atap gua). Dengan mengendap-endap, kami menjelajahi seisi lorong yang terhalang runtuhan gua yang berumur ratusa juta tahun itu.
Sejatinya, rencana yang bagus sekalipun dirancang, Tuhan jualah penentunya. Satu jam kami berempat menjelajah ke sana kemari. Namun, lorong Kendalisada buntu. Kuldesak!
Tak ada jalan lain. Penelusuran dan pemetaan yang dilakukan Hendra dan Heda pun dihentikan. Dan sebagai pengobat kecewa, siang itu kami bergerak menuju base camp di desa Tlogosari. Di sana, rencana kembali dirancang, yakni menuju Gua Sempor di siang itu juga.
Susunan caver (penelusur) pun dirombak. Dan, untuk menghilangkan kesan gender, tiga anggota putri peserta Ekpedisi Caving MAPALA UI di kawasan Kars Karang Bolong, Gombong-Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, itu diberikan kesempatan untuk menulusuri dan memetakannya.
Maka, usai lahap menyantap makan siang tim beringsut ke Gua Sempor. Tanpa banyak kesulitan, perlahan-lahan, Visna, Heda, dan Anne ditelan kegelapan.
Namanya gua perawan, sulit memperkirakan bentuk dan rupa lorong gua. Tal ayal, ketiga “srikandi�? eskpedisi itu terjebak lumpur setinggi 50 sampai 80 sentimeter. Alhasil, sepanjang mengendap-endap di antara kubangan lumpur itu mereka terus saja memaki.
Sungguh, bukan pekerjaan enteng menghadapi medan berlumpur. Apalagi, dalam keadaan gelap total seperi itu. Jangankan melangkah, mengangkat kaki pun sulitnya bukan main.
Saking sukarnya, tempo penelusuran jadi lamban. Tanpa disadari, ketiga rekan kami itu “terjebak�? dalam lumpur selama kurang lebih empat jam.
Rasanya, kondisi fisik mulai ambrol. Maka, meskipun masih terdapat banyak lorong, eksplorasi terpaksa dihentikan. Dalam keadaan perut keroncongan, dan tubuh penuh lumpur, terpaksa tiga caver itu meninggalkan lorong. Untungnya, persediaan soft drink dan makanan kecil telah siap di tangan kami yang berharap cemas di luar gua. “Lapar, ya?�? gurauku, melihat mereka makan begitu lahapnya.
***
KEKECEWAAN di hari keenam itu tidaklah sebanding dengan yang kami dapatkan, tatkala pertama tiba di desa itu. Buat kami, selain pesona dan misteri lorongnya, pemandangan alam sekitar di desa itu pun membuat kami terkesima.
Saat tiba di sana, tim disambut hamparan sawah menghijau desa Candirego, base camp kami. Sejenak, tiupan angin sepoi-sepoi dari arah perbukitan menjulang tinggi di kanan kiri jalan desa menghempaskan kepenatan, usai menempuh perjalanan 12 jam dari Jakarta. Gemuruh ombak pantai selatan, pun membuat kami ingin selekasnya memulai kegiatan ekspedisi di desa itu.
Boleh jadi, bentangan karst Karang Bolong itu tak kunjung habis untuk ditelusuri. Tak terhitung berapa banyak sebaran gua di kawasa itu. Dan selama sepekan ekspedisi di desa Candirego, kami berhasil menyelesaikan pemetaan pada 7 buah gua.
Pada hari pertama saja kami sudah disambut oleh keindahan chamber (ruang besar dalam gua) Gua Liyah. Ruang besar itu dipenuhi stalaktit dan stalakmit. Begitu lampu karbit menyala, mendadak, tempat sangat luas itu berubah menjadi sebuah ruang “etalase kristal�? nan mengagumkan. Semua benda gua berpijaran begitu cahaya menerpanya.
Esoknya, disambut pagi nan cerah kami menelusuri Gua Banyu. Rupanya, karena sebuah mitos berkembang di masyarakat, gua tersebut dikeramatkan. Para orang tua di sana mengatakan, konon, Gua Banyu dihuni oleh seekor ular besar dan buaya putih.
Perasaan was-was sangat merajai kami saat berada di mulut gua itu, memang. Dan, seperti tersambar sesuatu yang datang tiba-tiba, Heda terkejut. “Gila, dingiiin,�? seru leader kami, berteriak.
Rupanya, air sungai bawah tanah yang mengaliri Gua Banyu itu sangat dingin. Aneh, sepanjang menelusuri gua, belum pernah kutemukan hal seperti ini. Di situ, kaki kami seolah berendam dalam air sungai di pegunungan tinggi.
Kian jauh merangsek hingga ratusan meter ke dalam gua, tak satupun mitos siluman dijumpai. Yang ada, justeru pesona ciptaan-Nya yang membuat lidah tiada henti berdecak, terkagum-kagum. Sebab, bukan lagi stalaktit yang bersembunyi dalam kegelapan, melainkan juga straw (tunas stalaktit), flowstone (formasi kapur yang menggantung di dinding gua), serta aneka gourdijn (ornamen berbentung seperti tirai). Ukurannya, mulai dari sebesar tangan orang dewasa, yang sebesar patung orang dewasa sedang berdiri. Alhasil, hampir di tiap belokan lorong, kami senantiasa menebak-nebak, suguhan apa lagi yang akan dijumpai nanti.
***
PADA hari keenam, penelusuran Gua Kandangan menjadi kegiatan yang cukup menguras tenaga. Jarak mulut guanya sekitar 2 kilometer dari base camp, naik turun bukit. Kami harus menempuhnya dengan punggung bergandul ransel seberat 3 kilogram.
Beban berat dan sengatan sinar mentari seolah bersekutu mendera tubuh kami. Karena itulah, settiba di mulut gua tim terpaksa rihat sejenak. Untuk menghemat waktu, sebagian anggota istirahat, sebagian lagi melakukan pengamatan di lorong mulut gua itu.
Puas rihat yang mepet itu, peelusuran dimulai. Saat baru beberapa meter memasukinya, Hendra, leader kami, berteriak minta oksigen. Rupanya, udara dalam lorong berbentuk sumur itu sangat tipis. Terlalu berbahaya merayap tanpa bantuan alat tersebut. Apalagi, lorongnya hanya setinggi satu meter, dan lebarnya pas hanya untuk satu badan. Bisa-bisa napas mendadak berhenti.
Hari berikutnya kami istirahat total. Hari itu, semua anggota ekspedisi benar-benar mempergun waktu untuk bersosialisasi dengan penduduk setempat. “Ya, kapan lagi bisa dekat masayarakat kecil, apalagi bagi orang kota semacam kami,�? tukasku, membatin.
Ada hikmah unik dari sosialisasi, saat tim menelusuri Gua Ciparuk pada keesokan harinya. Banyak penduduk berkumpul di mulut gua. Mereka begitu antusias “menonton�? tim eksplorasi. Sambil menyaksikan kegiatan, ada penduduk yang menyuguhkan makanan kecil untuk kami. Bahkan, salah seorang di antaranya mengundang untuk menginap di rumahnya.
Dengan kerendahan hati, kecuali makanan, kami menepis semua tawaran. Sebab kesepakatan, hingga ekspedisi uai nanti, kami tetap melanjutkan kegiatan dengan menggunakan flying camp (tenda darurat).
Selepas Gua Ciparuk, kami melakukan penelusuran di gua Tritis. Dari sekian gua yang dimasuki, penelusuran di babak akhir kegiatan ekspedisi itulah itulah kekaguman kami akan pesona gua kian menjadi-jadi. Pasalnya, dominasi ornamen tidak lagi berkisar pada stalaktit, stalakmit atau formasi kalsit lainnya di dinding gua.
Setelah bersusah payah memasukinya, rimestonepool (kolam bertangga) raksasa yang dialiri air jernih membuat kami terhenyak untk beberapa lama. Tentu saja, apalagi di sekitar rimestonepool itu terdapat stalakmit dan flowstone. Tak heran jika secara bergantian semua anggota tim menikmatinya dengan mengarahkan cahaya ke arah benda-benda gua itu. Tampak, ketiganya berpendar-pendar, menjadi sebuah paduan alami nan memesona. Menakjubkan!
Namun sayangnya, tak bisa berlama-lama menikmati keindahan itu. arloji di pergelangan tanganku telah menujukan angka 5. Maka, sore itu juga, penelusuran harus diakhiri.
Senja kian temaram. Sembari melangkah pulang, keindahan gua Tritis menjadi ihwal perbincangan yang menarik. Dan sekonyong-konyong, rentetan kegiatan di perut bumi Karang Bolong itu kembali tergambar jelas di benakku. “Entah, kapan aku bisa kembali lagi menikmatinya?�? batinku, berharap dalam tanya.
Terima kasih sudah membaca artikel ini semoga ada ilmu yg bisa di ambil dari artikel tersebut.
1 Comments
salut... Mapala UI.yang telah menguak sebagian kebesaran Tuhan
Bagaimana Pendapat Anda ?